Minggu, 03 Oktober 2010

Sejarah Kabupaten Pekalongan


Sejarah Kabupaten Pekalongan



Hari Jadi Kabupaten Pekalongan
Keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif sudah berdiri cukup lama yaitu 3812 tahun yang lalu. Berdasarkan kajian ilmiah oleh Tim Peneliti Sejarah Kabupaten Pekalongan muncul lima prakiraan tentang kapan Kabupaten Pekalongan itu lahir, lima prakiraan yang menjadi kajian adalah masa prasejarah, masa Kerajaan Demak, masa Kerajaan Islam Mataram, masa Penjajahan Hindia Belanda dan masa Pemerintahan Republik Indonesia.
Hari Jadi Kabupaten Pekalongan telah ditetapkan pada Hari Kamis Legi Tanggal 25 Agustus 1622 atau pada 12 Robiu’l Awal 1042 H pada masa pemerintahan Kyai Mandoeraredja, beliau merupakan Bupati/Adipati yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo / Raja Mataram Islam dan sekaligus sebagai Bupati Pekalongan I, sedangkan penentuan hari dan tanggalnya diambil dari sebagaimana tradisi pengangkatan Bupati dan para pejabat baru dilingkungan Kerajaan Mataram.
Pembangunan Kabupaten Pekalongan sudah dilakukan sejak zaman Pemerintahan Adipati Notodirdjo (1879 -1920 M) di komplek Alun-alun utara no 1 Kota Pekalongan, bangunan tersebut merupakan rumah bagi para Bupati Pekalongan sekaligus sebagai tempat aktivitas perangkat pemerintahan dengan berbagai elemen masyarakat untuk bersilaturakhmi, bermusyawarah dan mencurahkan pemikiran atau unek-unek berbagai kehendak dihadapan bupati.
Proses pemindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan diawali dengan peresmian sekaligus penggunaan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan di Kajen oleh Bupati Drs. H Amat Antono pada tanggal 25 Agustus 2001, kepindahan itu merupakan salah satu tonggak sejarah sebagai momen diawalinya Kajen sebagai Ibukota Kabupaten Pekalongan. Secara bertahap pembangunan untuk melengkapi prasarana menjadi simpul-simpul penggerakan dan pengembangan sebagai sebuah ibukota kabupaten juga telah dibangun rumah dinas Bupati dan Pendopo yang selesai bertepatan dengan hari Jum’at Pon 19 Dzulhijjah 1423 H atau tanggal 21 Pebruari 2003 yang diresmikan secara langsung oleh Menteri Dalam Negeri Bapak Hari Sabarno atas nama Presiden Republik Indonesia Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri pada tanggal 5 April 2003. Untuk peringatan hari jadi Kabupaten Pekalongan pada tahun 2006 ini adalah merupakan peringatan hari jadi yang ke 834 tahun.

Sejarah berdirinya Pekalongan
Berdasar hasil penelusuran dan pengidentifikasian data-data historis Kabupaten Pekalongan sebagaimana tertuang dalam Buku Hari Jadi Kabupaten Pekalongan, sejarah berdirinya Kabupaten Pekalongan dapat diuraikan sebagai berikut :
a.     Masa Prasejarah
Data permukiman awal dari masa prasejarah dan awal masa sejarah kuno sebagaimana ditunjukan oleh adanya peninggalan megalitik dan lingga yoni dibeberapa tempat di daerah Kabupaten Pekalongan di bagian selatan menunjukan bahwa pemukiman penduduk telah berlangsung lama dan telah mengenal sistem kemasyarakatan dan keagamaan. Sistem kemasyarakatan yang bagaimana tidak dapat diketahui pasti karena terbatasnya sumber informasi.
Beberapa peninggalan penting yang dimaksud antara lain:
1.     Lingga/ Yoni di Desa Telaga Pakis Kecamatan Petungkriyono.
2.     Yoni di Dukuh Gondang Desa Telogoindro Kec. Petungkriyono.
3.     Lingga di Dukuh Mudal di Desa Yosorejo Kec. Petungkriyono.
4.     Lingga Yoni di Dukuh Parakandawa, Desa Sidomulyo Kec. Lebakbarang.
5.     Yoni di Dukuh Pajomblangan Kecamatan Kedungwuni.
6.     Yoni di Dukuh Kaum Desa Rogoselo Kecamatan Doro.
7.     Yoni di Desa Batusari Kecamatan Talun.
8.     Archa Ghanesha di Desa Kepatihan Kecamatan Wiradesa.
9.     Archa Ganesha di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono.
10.  Batu lumpang di Desa Depok Kecamatan Lebakbarang.
11.  Batu Lumpang di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya.
Data pemukiman pada periode awal Abad masehi sampai Abad XIV dan XV sangat langka dan terbatas, sehingga sulit dipastikan pertumbuhan dan perkembangan komunitas di wilayah Pekalongan pada masa pengaruh kebudayaan Jawa Hindu berkembang di Jawa. Hal ini terjadi karena sampai masa kini belum ditemukan prasasti peninggalan tertulis yang mampu mengungkapkan kehidupan pada masa itu. Banyak ditemukan toponim, beserta tradisi lisan, berupa legenda mitos, atau cerita rakyat yang berkaitan dengan toponim, akan tetapi sulit untuk memastikan kebenaran data legenda atau cerita rakyat tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh SCHRIEKE, Negara Kertagama, karya tulis penting pada masa Majapahit, sama sekali tidak menyebut nama–nama daerah di Pantai Utara Jawa sebelah barat Lasem, yang mencakup daerah Tegal, Pekalongan dan Semarang, yang pada masa itu diduga masih jarang dihuni penduduk. Sementara daerah lain seperti Demak, Jepara , Kudus dan Pati telah berkembang menjadi daerah penting.
b.     Masa Kerajaan Demak
Data sejarah pada periode abad ke 15 dan abad ke 16, diperoleh melalui sumber-sumber tertulis disamping sumber-sumber peninggalan bangunan makam kuno, kuburan dan bangunan lain dari masa perkembangan Islam di Jawa. Pada masa abad ke 16 diduga wilayah Pekalongan telah menjadi daerah yang dilewati oleh hubungan komunikasi dari dua kerajaan Islam Demak dan Cirebon, dan pada masa kemudian menjadi wilayah pengaruh kerajaan Mataram Islam pada abad ke 17. Selanjutnya pada abad ke 18 wilayah Pekalongan menjadi pengaruh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), Persekutuan dagang di India Timur–Belanda, terutama sejak tahun 1743, yaitu setelah VOC menerima imbalan jasa bantuan yang diberikan VOC kepada Mataram. Sejak 1800-an sampai 1942 Wilayah Pekalongan secara langsung menjadi wilayah administratif wilayah Pemerintahan Hindia Belanda, atau disebut wilayah Gubernemen. Sementara itu setelah lahirnya wilayah Republik Indonesia pada 1945 Wilayah Pekalongan tidak beda dengan wilayah lainnya menjadi Wilayah administrasi Pemerintahan Republik Indonesia.
c.     Masa Mataram Islam
Pada masa Pemerintahan Mataram Islam dibawah kekuasaan Sultan Agung abad ke-17, keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif merupakan Bagian dari wilayah kesatuan kerajaan Mataram Islam.
Kerajaan Mataram dibawah tampuk pemerintahan Sultan Agung mencapai kejayaannya. Wilayahnya meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Adapun Jakarta belum berhasil ditaklukkan karena dikuasai oleh Belanda dibawah Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen mulai tahun 1619. Keberhasilan tersebut ditunjang Doktrin Keagungbinataraan, yaitu kekuasaan Raja Mataram harus merupakan ketunggalan, utuh dan bulat. Artinya kekuasaan tersebut tidak tersaingi, tidak terkotak-kotak atau terbagi bagi dan merupakan keseluruhan (tidak hanya bidang-bidang tertentu). Pada bulan Maulud Nabi Muhammad Saw. selalu diadakan Gerebeg Maulud, yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. yang biasa jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal, sekaligus diadakan acara "Paseban" (berkumpulnya para Bupati dan Tumenggung serta para pejabat lainnya untuk melaporkan situasi/keadaan di daerah masing-masing dan penyerahan upeti). Pada acara tersebut juga dimanfaatkan oleh Sultan Agung untuk pengangkatan bupati-bupati baru dan pejabat baru lainnya. Menurut pandangan tim, keberadaan Sultan Agung dalam memimpin kerajaan Mataram terlebih pada saat perlawanan terhadap penjajah Belanda sudah tidak diragukan lagi keberadaannya sebagai Raja yang Gung Binatoro sehingga tepat apabila sekarang diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Perlawanan Mataram terhadap penjajah Belanda mencapai puncak disaat penyerangan ke Batavia pada tahun 1628, dimana Pangeran Manduraredja dan Bahureksa ditunjuk sebagai Panglima perangnya. Secara geografis Kabupaten Pekalongan terletak pada jalur pantura dan perdagangan laut yang cukup setrategis, sehingga pada saat penyerangan ke Batavia Kabupaten Pekalongan sebagai kantong / lumbung perbekalan. Setrategi ini juga digunakan Sultan Agung untuk mengumpulkan kekuatan-kekuatan didaerah.
Dari bukti inilah menunjukan bahwa Kabupaten Pekalongan termasuk daerah yang dipersiapkan dalam rangka penyerangan ke Batavia. Sehingga menurut pandangan tim, dijadikan alternatif dan bukti bahwa secara administratif Kabupaten Pekalongan merupakan bagian dari kesatuan Kerajaan Mataram.
Terlebih lagi dengan diangkatnya Pangeran Manduraredja sebagai Bupati Pekalongan yang mempunyai kekuasaan tertinggi di Kabupaten Pekalongan dan bertanggung jawab sebagai penyelenggara pemerintahan, serta secara hirarki wajib melaporkan segala sesuatunya kepada raja termasuk penyerahan upetinya.
d.     Pekalongan Mulai Dikenal
Banyak sumber mengatakan bahwa Pekalongan mulai dikenal setelah Bahurekso bersama anak buahnya berhasil membuka Hutan Gambiran/Gambaran, atau dikenal pula Muara Gambaran. Hal ini terjadi setelah Bahurekso gagal didalam penyerangan ke Batavia, bersama anak buahnya kembali ke Pantai Utara Jawa Tengah, namun secara sembunyi-sembunyi, sebab kalau diketahui oleh Pemerintah Sultan Agung pasti ditangkap dan dihukum mati. Sehingga terus melakukan yang disebut TAPA-NGALONG. Dari sinilah muncul prediksi-prediksi berkaitan dengan istilahPEKALONGAN.
Menurut penuturan R. Basuki (Putra Almarhum R. Soenarjo keturunan Bupati Mandurorejo) ; nama Pekalongan berasal dari istilah setempat HALONG-ALONG yang artinya hasil. Jadi Pekalongan disebut juga dengan nama PENGANGSALAN yang artinya pembawa keberuntungan. Sehingga prediksi Topo Ngalong itu hanya gambaran/sanepo yang mempunyai maksud siang hari sembunyi, malam hari keluar untuk mencari nafkah.
Didalam babad Sultan Agung yang merupakan sumber yang dapat dipercaya istilah pengangsalan nampaknya juga muncul. ”Gegaman wus kumpul dadi siji, samya dandan samya numpak palwa, gya ancal mring samudrane ; lampahe lumintu, ing Tirboyo lawan semawis ; ing Lepentangi, Kendal, Batang, Tegal, Sampun, Barebes lan Pengangsalan. Wong pesisir sadoyo tan ono kari, ing Carbon nggertata” (senjata-senjata telah berkumpul jadi satu. Setelah semuanya siap, para prajurit diberangkatkan berlayar. Pelayarannya tiada henti-hentinya melewati Tirbaya, Semarang, Kaliwungu, Kendal, Batang, Tegal, Brebes, dan Pengangsalan. Semua orang pesisir tidak ada yang ketinggalan (mereka berangkat menyiapkan diri di Cirebon). Sehingga dari beberapa uraian tersebut, prediksi Topo Ngalong hanya gambaran atau sanepo yang mempunyai maksud, pada siang hari sembunyi, dan hanya keluar pada malam hari untuk mencari makan/nafkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar